Selasa, 09 Februari 2010

Menguji Profesionalisme Birokrasi Menjelang Pilkada Purworejo

Oleh:
Margono, S.Pd., M.Acc

Pertengahan tahun 2010 ini, Kabupaten Purworejo akan mengadakan pesta demokrasi yaitu pemilihan Bupati/Wakil Bupati untuk masa bakti 2010-2015. Ada harapan besar dari masyarakat terhadap perubahan untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government) menuju masyarakat Purworejo yang sejahtera dan berdaya saing. Karena hanya dari kepemimpinan (leadership) yang bersih, mumpuni dan berwawasan jauh kedepan (visioner) didukung birokrat yang profesional kunci perubahan yang lebih baik itu dapat terwujud. Disadari atau tidak, proses demokrasi yang mulai bergulir sejak awal tahun 2010 ini, dimana konstelasinya semakin naik akan berdampak kepada pemetaan kekuatan di masyarakat termasuk kalangan birokrasi.

Nuansa itu mulai terlihat sejak munculnya nama bakal calon dari kalangan pengusaha, birokrat maupun incumbent yang ingin menguji peruntungan pada posisi strategis tersebut. Netralitas birokrasi sudah menjadi harga mati seperti tertuang dalam Surat Edaran (SE) Kemendagri tertanggal 21 Desember 2009 dengan nomor 270/4627/sj. SE Kemendagri ini ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota agar menata semua jajaran PNS untuk menjaga sikap netralnya dalam pilkada. SE Kemendagri juga ditembuskan kepada Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang memiliki kewenangan mengatur kedisiplinan PNS. Dalam SE itu memberikan garis yang jelas dimana posisi para public servant tersebut berada. PNS mempunyai hak suara, tetapi tidak boleh memobilisasi massa untuk mendukung salah satu peserta Pilkada, apalagi mempergunakan sarana dan jabatan untuk kampanye.

Namun kenyataannya SE tidak menjamin netralitas birokrat kepada salah satu pasangan calon bupati/wakil bupati walaupun ada sanksi berat jika dilanggar. Seandainya netralitas pegawai negeri sipil (PNS) di Purworejo tidak dapat dijaga, itu menjadi preseden buruk dan salah satu bukti ketidak profesionalan mereka sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat yang tidak boleh memihak kepada salah satu golongan tertentu, seperti tertuang dalam Panca Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ketiga: “mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat diatas kepentingan pribadi dan golongan”. Belum lagi jika nanti terjadi sengketa Pilkada, tentu akan dapat mengganggu keharmonisan birokrasi sehingga berdampak kepada pelayanan masyarakat.

Tetapi mengapa netralitas birokrasi menjadi sesuatu yang sulit? Untuk menjawab pertanyaan diatas, mari kita cermati kebijakan dalam penataan birokrasi dan pola kepemimpinan yang pernah ada di Kabupaten Purworejo.

Sistem Karier PNS

Sejak diberlakukannya otonomi daerah tahun 2000 seperti diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 kemudian diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terjadi perubahan sistem pemerintahan dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik termasuk dalam pembinaan kepegawaian. Kepala daerah diberi wewenang untuk menetapkan formasi dan persyaratan jabatan perangkat daerah seperti diatur dalam pasal 128 ayat 3 undang-undang tersebut. Aturan tersebut menjadi kunci dari jawaban atas pertanyaan, mengapa birokrasi tidak bisa menjaga netralitasnya.

Keputusan birokrat mendukung salah satu calon menjadi sortcut (jalan pintas) bagi PNS untuk mencapai kedudukan dan jabatan tertentu. Saat ini daftar urut kepangkatan (DUK) tidak bisa dijadikan jaminan bagi karier PNS. Daftar urut kepangkatan hanya sebatas catatan administrasi belaka, tetapi DUK yang berlaku adalah “daftar urut kedekatan”. Tidak ada indikator yang jelas seorang PNS menduduki jabatan tertentu, bahkan track record yang bisa menjadi salah satu penilaian tidak diperhatikan. Right man on the right place hanya sebagai “pantun birokrasi” yang masih jauh dari harapan.

Reformasi birokrasi yang sekarang menjadi prioritas pembangunan pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II terlihat “loyo” ditingkat pemerintah daerah. Walaupun menduduki jabatan berdasarkan daftar urut kepangkatan (DUK) bukan cara yang fair, karena pangkat yang tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan profesionalitas, perlu ada instrumen lain untuk mengujinya. Sehingga masih perlu dirumuskan formula yang jitu untuk menjaring birokrat yang mumpuni sesuai kompetensi dengan jabatan yang diembannya.

Revenge Policy dan Gratitude policy

Keputusan PNS berpolitik praktis dengan menjadi tim sukses salah satu calon bupati/wakil bupati bukan tanpa resiko. Jika terbukti perpolitik praktis seorang PNS bisa dikenai sanksi, dari sanksi administrasi hingga pencopotan dari jabatannya, tergantung seberapa besar tingkat kesalahannya. Namun kenyataannya, sanksi biasanya hanya dikenai kepada PNS yang menjadi pendukung calon bupati/wakil bupati tidak terpilih, jika PNS tersebut menjadi pendukung bupati/wakil bupati terpilih tentu bukan sanksi yang didapatkan, tetapi kedudukan dan jabatan. Padahal jika dilihat dari kesalahannya, keduanya mempunyai kesalahan yang sama, keduanya seharusnya dikenai sanksi, tetapi perlakuannya bertolak belakang. Inilah pola kepemimpinan yang penulis namai dengan politik balas dendam (revenge policy) dan politik balas budi (gratitude policy).

Politik semacam inilah yang merusak tatanan birokrasi. Birokrat menjadi tidak netral, magnet untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan menjadi faktor utama keterlibatan mereka dalam politik praktis yang pada akhirnya merugikan masyarakat. Profesionalisme birokrat terkesampingkan, yang muaranya pelayanan kepada masyarakat menjadi tidak optimal. Kronisme lambat laun menggurita, pejabat diisi oleh “sanak kadang sang bupati yang pada akhirnya menjadi embrio dari perilaku korup. Apakah kita rela jika pemerintah daerah diisi oleh pejabat yang tidak kompeten, mendapatkan jabatan dan kedudukan dengan cara-cara melanggar hukum. Tentu kita sebagai masyarakat yang peduli dan mencintai Purworejo sangat tidak rela.

Seleksi Pejabat Daerah

Artikel ini tentu tidak fair kalau hanya mengkritisi tanpa memberikan solusi. Seperti telah diuraikan diatas, salah satu indikator profesionalisme birokrasi adalah netralitas. Netralitas menjadi barang mahal dalam pemerintahan, karena “keberpihakan” itulah yang menjamin seorang PNS memperoleh jabatan dan kedudukan. Jabatan telah dipolitisasi sang penguasa untuk mengakomodasi tim sukses dari kalangan birokrat yang telah mendukungnya. Hal ini terjadi karena tidak adanya seleksi ketika akan menduduki jabatan struktural di Pemerintah Daerah Purworejo. Seleksi hanya sebatas administratif dan cenderung formalitas oleh badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan (Baperjakat).

Bupati memiliki kekuasaan untuk memberikan jabatan dan kedudukan kepada siapa saja yang dikehendaki. Tidak ada ukuran profesionalitas sebagai acuan bagi PNS yang diangkat dalam jabatan tertentu. Masih banyak pejabat yang diangkat berdasarkan balas budi dan kedekatan. Walaupun untuk jabatan-jabatan teknis di Kabupaten Purworejo sudah diisi oleh para profesional.

Metode kompetesi melalui seleksi (tertulis dan interview/fit and proper test) yang telah diberlakukan untuk jabatan fungsional guru yang akan menduduki jabatan Kepala Sekolah di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Purworejo oleh lembaga independen, yaitu LPMP Jawa Tengah bisa dijadikan acuan. Apa yang telah dilakukan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dalam seleksi Kepala Sekolah merupakan contoh yang baik. Profesionalisme dapat diuji, dinilai dan ditunjukkan melalui seleksi yang fair, kompetitif dan transparan.

Sudah saatnya sistem kompetisi melalui seleksi oleh lembaga independen diberlakukan juga pada jabatan struktural, untuk memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada PNS yang cakap, kompeten dan berdedikasi tinggi untuk menduduki jabatan. Akan terjadi persaingan positif diantara para PNS, sehingga mendorong mereka untuk selalu belajar dan berprestasi. Jabatan bukan karena kedekatan tetapi karena kemampuan. Inilah cara elegan untuk memperoleh birokrat-birokrat handal sebagai salah satu pilar pembangunan di Kabupaten Purworejo.

Semoga tulisan ini bisa memberikan inspirasi kepada Bupati/Wakil Bupati terpilih nanti untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih seperti harapan masyarakat Purworejo, sehingga good governance dan clean government dapat terwujud. Tidak ada lagi ruang bagi birokrat-birokrat oportunis dan tidak profesional yang merusak tata pemerintahan di Pemerintah Daerah Purworejo.

Mari Pilkada ini dijadikan titik tolak membangun birokrasi yang profesional menuju Purworejo bersih, dengan memilih calon Bupati/Wakil Bupati secara cerdas dengan tetap menjaga netralitas. Bangkit Purworejo bersih!!!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

good...good...good