Selasa, 30 Maret 2010

Menggali PAD dari Bidang Pendidikan

Oleh:
Margono, S.Pd., M.Acc

Latar Belakang

Kabupaten Purworejo termasuk kabupaten miskin, Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya berkisar 7%-8% dari APBD, itupun sebagian besar dari retribusi, yang berarti tiadanya hasil unggulan yang berbasis pada sumber kekayaan asli daerah yang termanfaatkan secara optimal. Struktur APBD tersebut, menjadi indikator bahwa kita masih sangat tergantung kepada Pemerintah Pusat.

Perekonomian Kabupaten Purworejo merupakan wilayah yang secara sosial ekonomi berbasis pertanian. Tetapi usaha pertanian sendiri tidak dapat berkembang dengan cepat, karena perhatian pemerintah daerah pada sektor ini sangat kurang, disamping sawah kita adalah sawah tadah hujan yang pengelolaannya masih tradisional dan sangat tergantung musim, belum lagi penyusutan lahan produktif yang terus terjadi seiring pembangunan di bidang infrastruktur dan perumahan.

Usaha pertambangan pasir besi yang berpotensi pun sangat merugikan dalam jangka panjang, dan jika dihitung dengan teliti, recovery cost (biaya reklamasi) atas kerusakan lingkungan bisa sangat besar, tidak sepadan dengan hasil yang diperoleh. Usaha perdagangan, jasa perhotelan dan pariwisata pun belum bisa berkembang karena tidak didukung produk unggulan lokal dan tempat-tempat pariwisata yang laku dijual. Alhasil, pembangunan daerah menjadi lambat, dan masyarakat yang produktif cenderung memilih bekerja keluar daerah.

Kenyataan selama ini, pembangunan sektor pendidikan dianggap tidak mungkin menghasilkan output dalam bentuk finansial (profit), karena pembangunan sektor pendidikan merupakan investasi jangka panjang dengan tujuan membangun manusia yang cerdas, trampil, tangguh dan bertaqwa sebagai salah satu pilar utama pembangunan dimasa datang.

Paradigma pendidikan kita telah berubah, pendidikan saat ini berbasis kompetensi yang berorientasi pada life skill education melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), pembangunan bidang pendidikan memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk menggali pendapatan asli daerah (PAD) Purworejo dengan wadah Unit Produksi (UP) yang ada di masing-masing satuan pendidikan yang berfungsi sebagai business center. Sektor pendidikan bisa menjadi trigger (pemicu) bagi pengembangan ekonomi kerakyatan, tidak hanya sebatas teori saja, tetapi langsung dipraktekkan dalam proses pembelajaran.

Pada prinsipnya, SMK merupakan sekolah dengan orientasi bisnis, dimasa datang proses pembelajaran yang diterapkan secara terintegrasi antara life skill dan business center. Manajemen pengelolaan SMK memadukan antara pendidikan kejuruan dengan pengembangan tata kota yang mengutamakan pengembangan sektor ekonomi wilayah kabupaten/kota (Economic Development), peningkatan kebutuhan kualitas dan standarisasi tenaga Kerja (Workforce Development), kerja sama pengembangan potensi (Potency Development Partnerships), dan pengembangan hasil (product development) yang langsung dipraktekkan dengan core business (bisnis unggulan) yang jelas.

Menurut penulis, konsep pendidikan di SMK tujuan akhirnya pada profit oriented atas produk yang dihasilkan, sesuai program keahlian yang dikembangkan. Produk yang dihasilkan bisa jasa atau barang dengan memanfaatkan sebesar-besarnya potensi yang kita miliki tidak hanya sebatas di lingkungan sekolah tetapi potensi yang ada di seluruh wilayah Purworejo.

Ide ini masih sebatas konsepsi yang masih perlu dianalisis lebih dalam, tapi penulis meyakini, jika dikembangkan dengan sungguh-sungguh dan dikelola secara profesional dengan dukungan stakeholder, diantaranya: satuan pendidikan (SMK) sebagai business center, Dinas P dan K sebagai partner management and public relation, Pemerintah Daerah sebagai capital owner serta masyarakat sebagai user/customer akan menimbulkan efek domino yang cukup positif, baik secara finansial (menambah PAD), penyerapan tenaga kerja,maupun life skill siswa itu sendiri.

Modal/Kekuatan

a. Sumber Daya Manusia

Perhatian Pemerintah pada sektor pendidikan sangat besar, struktur anggaran yang mewajibkan 20% dari belanja untuk pendidikan sudah sangat jelas dalam UUD 1945. Titik tumpu pembangunan pendidikan berbasis life skill ditindaklanjuti dengan kebijakan mengubah rasio SMA:SMK menjadi 30:70 pada tahun 2014. Saat ini Purworejo sudah memiliki 25 SMA dan 37 SMK dengan jumlah siswa SMA sebanyak 8.786 dan siswa SMK sebanyak 16.903. Dengan kondisi jumlah tersebut, rasio SMA:SMK di Kabupaten Purworejo sudah 34:66. Ini merupakan modal/kekuatan Purworejo dari sisi sumber daya manusia yang telah dimiliki.

b. Modal Tetap/Aset

Dari sisi sarana prasarana, ada 37 SMK di Purworejo, terdiri dari 7 SMK Negeri dan 30 SMK swasta, dan ada 24 program keahlian. Sebagian besar sudah memiliki tempat praktek. Dalam konsep business center ini, sekolah merupakan tempat praktek sekaligus sebagai tempat produksi dari produk unggulan yang dikembangkan oleh sekolah. Tempat praktek/produksi merupakan modal tetap/aset sebagai bagian dari proses produksi, jadi tidak hanya sekedar tempat praktek siswa saja, tetapi merupakan modal usaha yang harus diberdayakan sebagai aset daerah untuk menghasilkan komoditas yang laku dijual.

c. Manajemen Pengelolaan

Dari sisi manajemen, di masing-masing program keahlian pada satuan pendidikan telah ada Unit Produksi (UP) sebagai pengelola sekaligus memberikan supervisi dalam proses produksi komoditas yang dikembangkan satuan pendidikan. Selama ini UP berjalan sendiri-sendiri di masing-masing satuan pendidikan, tidak ada pembinaan terstruktur, maka UP yang seharusnya menjadi salah satu indikator keberhasilan pendidikan life skill di SMK menjadi terabaikan, hal ini dikarenakan tidak adanya core business dan business planning yang jelas. Oleh karena itu, perlu disusun strategi pengelolaan UP oleh suatu unit kerja yang terkoordinasi di tingkat kabupaten di Dinas P dan K Kabupaten dengan pengawasan dan bimbingan dari Pemerintah Daerah melalui dinas terkait. Unit kerja tersebut mempunyai tugas utama menyusun business planning, menentukan core business, disamping itu juga berfungsi sebagai public relations dan bargaining project dengan pengguna/pemakai produk UP, sehingga UP tidak hanya sebagai mitra guru dalam mengembangkan life skill siswa, tetapi juga bisnis untuk menggali pendapatan asli daerah.

Kesimpulan

Jika dilihat dari modal yang dimiliki Kabupaten Purworejo diatas, sangat memungkinkan Unit Produksi (UP) dikelola secara profesional seperti Perusahaan Daerah dengan struktur dari UP ditingkat satuan pendidikan (supervisor), koordinator UP di Dinas P dan K Kabupaten (Manajer/direktur) dan penanam modal/capital owner (komisaris) oleh Pemerintah Daerah. Ini bisa menjadi model pendidikan yang terintegrasi antara penyiapan SDM hingga penyerapannya yang menjadi satu kesatuan yang utuh dalam konsep SMK sebagai business center. Oleh karena itu, pengelolaan UP yang profesional dengan melibatkan satuan pendidikan (SMK), Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan Pemerintah Daerah menjadi salah satu alternatif pilihan yang layak dipertimbangkan.

Upaya ini untuk menciptakan kesempatan dan peluang bagi tenaga trampil kita dalam keikutsertaannya membangun daerahnya, serta menggali potensi pendapatan daerah dari sektor pendidikan. Sekarang tinggal bagaimana Pemerintah Daerah merumuskan konsep pengelolaan UP yang baik, memilih manajer yang profesional dan memberikan dukungan finansial yang menyertainya. Sehingga pendidikan di SMK tidak hanya sekedar input, process dan output saja, tetapi juga outcome yang langsung bisa dihitung dan dirasakan hasilnya.

Selasa, 09 Februari 2010

Menguji Profesionalisme Birokrasi Menjelang Pilkada Purworejo

Oleh:
Margono, S.Pd., M.Acc

Pertengahan tahun 2010 ini, Kabupaten Purworejo akan mengadakan pesta demokrasi yaitu pemilihan Bupati/Wakil Bupati untuk masa bakti 2010-2015. Ada harapan besar dari masyarakat terhadap perubahan untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government) menuju masyarakat Purworejo yang sejahtera dan berdaya saing. Karena hanya dari kepemimpinan (leadership) yang bersih, mumpuni dan berwawasan jauh kedepan (visioner) didukung birokrat yang profesional kunci perubahan yang lebih baik itu dapat terwujud. Disadari atau tidak, proses demokrasi yang mulai bergulir sejak awal tahun 2010 ini, dimana konstelasinya semakin naik akan berdampak kepada pemetaan kekuatan di masyarakat termasuk kalangan birokrasi.

Nuansa itu mulai terlihat sejak munculnya nama bakal calon dari kalangan pengusaha, birokrat maupun incumbent yang ingin menguji peruntungan pada posisi strategis tersebut. Netralitas birokrasi sudah menjadi harga mati seperti tertuang dalam Surat Edaran (SE) Kemendagri tertanggal 21 Desember 2009 dengan nomor 270/4627/sj. SE Kemendagri ini ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota agar menata semua jajaran PNS untuk menjaga sikap netralnya dalam pilkada. SE Kemendagri juga ditembuskan kepada Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang memiliki kewenangan mengatur kedisiplinan PNS. Dalam SE itu memberikan garis yang jelas dimana posisi para public servant tersebut berada. PNS mempunyai hak suara, tetapi tidak boleh memobilisasi massa untuk mendukung salah satu peserta Pilkada, apalagi mempergunakan sarana dan jabatan untuk kampanye.

Namun kenyataannya SE tidak menjamin netralitas birokrat kepada salah satu pasangan calon bupati/wakil bupati walaupun ada sanksi berat jika dilanggar. Seandainya netralitas pegawai negeri sipil (PNS) di Purworejo tidak dapat dijaga, itu menjadi preseden buruk dan salah satu bukti ketidak profesionalan mereka sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat yang tidak boleh memihak kepada salah satu golongan tertentu, seperti tertuang dalam Panca Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ketiga: “mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat diatas kepentingan pribadi dan golongan”. Belum lagi jika nanti terjadi sengketa Pilkada, tentu akan dapat mengganggu keharmonisan birokrasi sehingga berdampak kepada pelayanan masyarakat.

Tetapi mengapa netralitas birokrasi menjadi sesuatu yang sulit? Untuk menjawab pertanyaan diatas, mari kita cermati kebijakan dalam penataan birokrasi dan pola kepemimpinan yang pernah ada di Kabupaten Purworejo.

Sistem Karier PNS

Sejak diberlakukannya otonomi daerah tahun 2000 seperti diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 kemudian diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terjadi perubahan sistem pemerintahan dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik termasuk dalam pembinaan kepegawaian. Kepala daerah diberi wewenang untuk menetapkan formasi dan persyaratan jabatan perangkat daerah seperti diatur dalam pasal 128 ayat 3 undang-undang tersebut. Aturan tersebut menjadi kunci dari jawaban atas pertanyaan, mengapa birokrasi tidak bisa menjaga netralitasnya.

Keputusan birokrat mendukung salah satu calon menjadi sortcut (jalan pintas) bagi PNS untuk mencapai kedudukan dan jabatan tertentu. Saat ini daftar urut kepangkatan (DUK) tidak bisa dijadikan jaminan bagi karier PNS. Daftar urut kepangkatan hanya sebatas catatan administrasi belaka, tetapi DUK yang berlaku adalah “daftar urut kedekatan”. Tidak ada indikator yang jelas seorang PNS menduduki jabatan tertentu, bahkan track record yang bisa menjadi salah satu penilaian tidak diperhatikan. Right man on the right place hanya sebagai “pantun birokrasi” yang masih jauh dari harapan.

Reformasi birokrasi yang sekarang menjadi prioritas pembangunan pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II terlihat “loyo” ditingkat pemerintah daerah. Walaupun menduduki jabatan berdasarkan daftar urut kepangkatan (DUK) bukan cara yang fair, karena pangkat yang tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan profesionalitas, perlu ada instrumen lain untuk mengujinya. Sehingga masih perlu dirumuskan formula yang jitu untuk menjaring birokrat yang mumpuni sesuai kompetensi dengan jabatan yang diembannya.

Revenge Policy dan Gratitude policy

Keputusan PNS berpolitik praktis dengan menjadi tim sukses salah satu calon bupati/wakil bupati bukan tanpa resiko. Jika terbukti perpolitik praktis seorang PNS bisa dikenai sanksi, dari sanksi administrasi hingga pencopotan dari jabatannya, tergantung seberapa besar tingkat kesalahannya. Namun kenyataannya, sanksi biasanya hanya dikenai kepada PNS yang menjadi pendukung calon bupati/wakil bupati tidak terpilih, jika PNS tersebut menjadi pendukung bupati/wakil bupati terpilih tentu bukan sanksi yang didapatkan, tetapi kedudukan dan jabatan. Padahal jika dilihat dari kesalahannya, keduanya mempunyai kesalahan yang sama, keduanya seharusnya dikenai sanksi, tetapi perlakuannya bertolak belakang. Inilah pola kepemimpinan yang penulis namai dengan politik balas dendam (revenge policy) dan politik balas budi (gratitude policy).

Politik semacam inilah yang merusak tatanan birokrasi. Birokrat menjadi tidak netral, magnet untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan menjadi faktor utama keterlibatan mereka dalam politik praktis yang pada akhirnya merugikan masyarakat. Profesionalisme birokrat terkesampingkan, yang muaranya pelayanan kepada masyarakat menjadi tidak optimal. Kronisme lambat laun menggurita, pejabat diisi oleh “sanak kadang sang bupati yang pada akhirnya menjadi embrio dari perilaku korup. Apakah kita rela jika pemerintah daerah diisi oleh pejabat yang tidak kompeten, mendapatkan jabatan dan kedudukan dengan cara-cara melanggar hukum. Tentu kita sebagai masyarakat yang peduli dan mencintai Purworejo sangat tidak rela.

Seleksi Pejabat Daerah

Artikel ini tentu tidak fair kalau hanya mengkritisi tanpa memberikan solusi. Seperti telah diuraikan diatas, salah satu indikator profesionalisme birokrasi adalah netralitas. Netralitas menjadi barang mahal dalam pemerintahan, karena “keberpihakan” itulah yang menjamin seorang PNS memperoleh jabatan dan kedudukan. Jabatan telah dipolitisasi sang penguasa untuk mengakomodasi tim sukses dari kalangan birokrat yang telah mendukungnya. Hal ini terjadi karena tidak adanya seleksi ketika akan menduduki jabatan struktural di Pemerintah Daerah Purworejo. Seleksi hanya sebatas administratif dan cenderung formalitas oleh badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan (Baperjakat).

Bupati memiliki kekuasaan untuk memberikan jabatan dan kedudukan kepada siapa saja yang dikehendaki. Tidak ada ukuran profesionalitas sebagai acuan bagi PNS yang diangkat dalam jabatan tertentu. Masih banyak pejabat yang diangkat berdasarkan balas budi dan kedekatan. Walaupun untuk jabatan-jabatan teknis di Kabupaten Purworejo sudah diisi oleh para profesional.

Metode kompetesi melalui seleksi (tertulis dan interview/fit and proper test) yang telah diberlakukan untuk jabatan fungsional guru yang akan menduduki jabatan Kepala Sekolah di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Purworejo oleh lembaga independen, yaitu LPMP Jawa Tengah bisa dijadikan acuan. Apa yang telah dilakukan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dalam seleksi Kepala Sekolah merupakan contoh yang baik. Profesionalisme dapat diuji, dinilai dan ditunjukkan melalui seleksi yang fair, kompetitif dan transparan.

Sudah saatnya sistem kompetisi melalui seleksi oleh lembaga independen diberlakukan juga pada jabatan struktural, untuk memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada PNS yang cakap, kompeten dan berdedikasi tinggi untuk menduduki jabatan. Akan terjadi persaingan positif diantara para PNS, sehingga mendorong mereka untuk selalu belajar dan berprestasi. Jabatan bukan karena kedekatan tetapi karena kemampuan. Inilah cara elegan untuk memperoleh birokrat-birokrat handal sebagai salah satu pilar pembangunan di Kabupaten Purworejo.

Semoga tulisan ini bisa memberikan inspirasi kepada Bupati/Wakil Bupati terpilih nanti untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih seperti harapan masyarakat Purworejo, sehingga good governance dan clean government dapat terwujud. Tidak ada lagi ruang bagi birokrat-birokrat oportunis dan tidak profesional yang merusak tata pemerintahan di Pemerintah Daerah Purworejo.

Mari Pilkada ini dijadikan titik tolak membangun birokrasi yang profesional menuju Purworejo bersih, dengan memilih calon Bupati/Wakil Bupati secara cerdas dengan tetap menjaga netralitas. Bangkit Purworejo bersih!!!

Kamis, 21 Januari 2010

Guru Oh...Guru



Oleh:
Margono, S.Pd., M.Acc

Guru, adalah profesi yang sekarang menjadi idola। Sertifikasi, tunjangan fungsional, adalah beberapa contoh kesejahteraan yang menggiurkan, tentu bagi yang sudah menjadi guru tetap/PNS. Tetapi bagaimana nasib sesama profesi guru yang sering disebut guru tidak tetap atau guru honorer, sangat bertolak belakang. Kesejahteraan yang minim, kurang perhatian, bahkan sering dianggap benalu oleh pemerintah. Sungguh ironis, padahal mereka mempunyai andil yang sama dalam mencerdaskan anak bangsa. Seperti ada jurang yang sangat lebar jika membandingkan kesejahteraan antara guru tetap (PNS) dengan guru tidak tetap, tetapi itulah kenyataan sebenarnya.

Baiklah, dalam tulisan ini, penulis tidak akan membahas guru dari sisi kesejahteraan dan legalitas profesi, tetapi dari sisi yang lain.
Sebenarnya siapa yang berhak menyandang predikat guru? Apakah orang yang mempunyai nomor induk pegawai (NIP), orang diangkat dengan SK Kepala Sekolah ataukah seorang kyai/dai, ustad/ustazah, atau siapa?
Seorang sejarawan yang juga mantan menteri pendidikan pada jaman Orba Prof. Fuad Hasan pernah mengatakan bahwa di dunia ini hanya ada dua profesi, yaitu guru dan bukan guru. Dari pernyataan itu, beliau ingin mengatakan bahwa siapapun bisa menjadi guru. Konsep guru dalam Budaya Jawa adalah sosok yang “digugu lan ditiru” secara jelas menjawab apa yang dimaksud guru oleh Prof Fuad Hasan. Guru adalah sosok teladan, baik dalam ucapan, tindakan dan tingkah laku, dan itu bisa dilakukan oleh siapa saja.
Seorang tukang becak yang selalu ramah, bertingkah laku sopan, sabar, mau berusaha dan tetap bersyukur, adalah sosok yang pantas disebut guru karena bisa menjadi teladan, dibandingkan orang yang diangkat dengan SK guru tetapi berlaku kasar, suka berjudi gaple/sabung ayam, berselingkuh/berbuat cabul, atau menggelapkan uang sekolah/siswa, sekalipun ia hapal tugas guru sesuai UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Beberapa waktu yang lalu kita pernah melihat di tayangan TV ada guru yang tertangkap basah bermain judi, berbuat cabul, atau berselingkuh, apakah mereka masih pantas disebut guru? Kalau kita kembali kepada makna guru yang “digugu lan ditiru” tentu jawabannya adalah tidak pantas. Memang tidak bisa “digebyah uyah” (digeneralisir) bahwa semua guru berbuat seperti itu, tetapi peribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga” bisa menggambarkan bahwa profesi guru saat ini sedang dalam kondisi “rusak”.
Rusak disini bisa diartikan menjadi sorotan masyarakat, karena dengan adanya sertifikasi yang berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan, guru tidak bisa lagi berbuat seenaknya, tidak ada tempat untuk berbuat salah dimata masyarakat. Sesuai undang-undang, guru dituntut meningkatkan kompetensinya sesuai PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28, guru/pendidik adalah agen pembelajaran yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
Makna “digugu” adalah teladan. Teladan dalam berfikir dan memahami sesuatu, merupakan pengejawantahan dari kemampuan guru dalam memahami ilmu pengetahuan yang dimiliki (kognitif). Kalau kita hubungkan dengan empat kompetesi guru, maka cenderung kepada kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Kompetensi pedagogik, secara substantif mencakup kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya, sedangkan kompetensi profesional merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum mata pelajaran.
Sedangkan “ditiru” juga mempunyai makna teladan, tetapi lebih kepada ranah afektif dan psikomotorik. Jika dihubungkan dengan empat kompetensi guru merupakan pengejawantahan dari kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia, sedangkan kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Jadi dengan semakin meningkatnya kesejahteraan, guru tidak hanya harus meningkatkan kompetensinya, tetapi juga harus bisa menjadi teladan sesuai makna “digugu lan ditiru”. Jangan sampai guru yang ber SK tidak bisa menjadi teladan, karena merekalah garda terdepan dalam mencerdaskan anak bangsa, walaupun mereka tetap dibantu dan didukung oleh “guru-guru” lain yang ada disekitar kita, karena pendidikan merupakan tanggungjawab bersama termasuk masyarakat.