Rabu, 30 September 2009

PEMBIBITAN POTENSI VOKASI PURWOREJO YANG TERLUPAKAN

Oleh:
Margono, S.Pd., M.Acc

Kita tahu bahwa salah satu kebutuhan primer setiap penduduk adalah pendidikan. Kenyataan ini sejak lama disadari pemerintah, terbukti dengan adanya pasal khusus tentang pendidikan pada UUD 1945. Prioritas pembangunan pendidikan nasional adalah meningkatkan mutu pendidikan setiap jenis dan jenjang pendidikan, peningkatan pendidikan dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peningkatan relevansi pendidikan. Relevansi pendidikan ini sudah sejak tahun 1993 dikenal dengan kebijakan keterkaitan dan kesepakatan atau “link and match”.
Kebijakan pokok Departemen Pendidikan Nasional untuk mewujudkan (1) pemerataan dan perluasan akses pendidikan, (2) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing (3) penguatan tatakelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik, menjadi dasar pelaksanaan program-program pendidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan terutama SMK yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Kebijakan umum Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk tahun 2005 – 2009 diantaranya Perluasan dan Pemerataan Akses untuk memperoleh pendidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan dan peningkatan mutu. Pada Rencana Strategis Depdiknas, peningkatan Akses pendidikan di tingkat sekolah menengah akan lebih ditekankan pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dimana pada tahun 2020 perbandingan SMK-SMA adalah 70:30. (Depdiknas, 2007).
Kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada peningkatan akses dan mutu SMK yang lebih besar, serta memadukan antara pendidikan kejuruan dengan pengembangan tata kota dengan mengutamakan pengembangan sektor ekonomi wilayah kabupaten/kota (Economic Development), peningkatan kebutuhan kualitas dan standarisasi tenaga Kerja (Workforce Development), kerja sama pengembangan karier (Career Development Partnerships), dan sumberdaya yang tersedia online (Online resources). Program rintisan ini merupakan pengembangan kota vokasi yang akan “dibangun” di tingkat kabupaten/kota. Yang kemudian jadi pertanyaan adalah, sektor ekonomi apakah yang dapat dijadikan produk unggulan untuk merintis kota vokasi di Kabupaten Purworejo.
Penentuan pemilihan pengembangan sektor ekonomi kota vokasi sebenarnya tidak bisa lepas dari instansi lain. Sebelum memutuskan sektor ekonomi yang akan dipilih, perlu disusun peta potensi wilayah di masing-masing kecamatan bekerjasama dengan dinas lain yang ikut terkait langsung, misalnya untuk pemilihan sektor pertanian perlu dilibatkan dinas pertanian, sektor industri kecil perlu dilibatkan dinas perindustrian dan perdagangan, dll. Setelah tersusun peta potensi masing-masing wilayah, kemudian disusun skala prioritas unggulan dari yang paling potensial hingga yang kurang berpotensi. Rankingisasi potensi wilayah ini yang menjadi dasar pemilihan untuk usulan rintisan kota vokasi.
Di Kabupaten Purworejo, ada salah satu kecamatan yang sudah cukup dikenal sebagai sentra produk berbagai macam bibit tanaman industri, yaitu Kecamatan Kemiri. Perkembangan sektor ekonomi didaerah ini tidak bisa lepas dari produk berbagai macam bibit yang didistribusikan hingga ke luar daerah. Tetapi potensi ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya SMK Pertanian yang berdiri di Kabupaten Purworejo. Sebenarnya ini merupakan potensi yang bisa dipertimbangkan, dan jika diterima pada akhirnya dikembangkan sebagai rintisan kota vokasi di Kabupaten Purworejo.
Menurut penulis, program rintisan pengembangan kota vokasi produk unggulan pembibitan di Kecamatan Kemiri harus menekankan pada unsur pendekatan partisipasi pemerintah melalui Dinas P dan K dan masyarakat dengan memberdayakan komunitas-komunitas usaha kecil pembibitan yang sudah ada disana. Sehingga bisa terwujud Kota vokasi yang memiliki multifungsi yaitu sebagai pusat pembelajaran kejuruan, pasar tenaga kerja, serta pusat produksi yang secara makro dapat meningkatkan Gross Domestic Product (GDP) Kabupaten Purworejo mengingat produk bibit dari Kecamatan Kemiri sudah masuk skala nasional dengan pasar yang cukup luas hingga ke Sumatra.
Jika program rintisan kota vokasi di Kecamatan Kemiri dapat terealisir, diharapkan mampu mensinergikan seluruh sumberdaya masyarakat terutama komunitas-komunitas usaha kecil pembibitan yang telah ada, menarik investor dan dunia perbankan dalam menyalurkan kredit usaha, sehingga tercipta pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan mengurangi pengangguran.
Oleh karena itu perlu dukungan, perhatian dan kerjasama yang baik dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Kabupaten Purworejo serta komunitas usaha kecil pembibitan yang telah ada sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya masing-masing, sehingga diharapkan program rintisan kota vokasi di Kecamatan Kemiri akan dapat diusulkan, kemudian direalisasikan dan masyarakat mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya.

Rabu, 10 Juni 2009

JANGAN REMEHKAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)



Oleh: Margono, S.Pd., M.Acc

PAUD adalah pendidikan anak usia dini untuk usia anak 0-6 tahun bagian dari pendidikan pra-sekolah dan termasuk pendidikan non formal. Tetapi dalam PAUD sendiri dibagi menjadi PAUD formal yaitu Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudhatul Atfal (RA); dan PAUD non-formal yang terdiri dari Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitipan Anak (TPA), Fullday School, dll.
Judul artikel ini merupakan sebuah kritikan kepada masyarakat Purworejo akan kesadaran orang tua terhadap PAUD yang masih rendah. Data di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Purworejo menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD pada tahun 2008 hanya 34,82% dibawah APK Nasional yang sudah mencapai 50,47%, dan rasanya sangat sulit mencapai target APK PAUD Propinsi Jawa Tengah tahun 2009 yang mencapai 61%, memerlukan usaha yang keras bagi kita semua untuk mencapainya karena kesadaran masyarakat Purworejo tentang PAUD masih rendah.
Data di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Purworejo pada tahun 2008 juga menunjukkan bahwa dari 11.382 siswa baru SD baru 83,9% atau 9.549 siswa yang berasal dari TK, dan jika ditelaah lebih lanjut angka mengulang pada kelas 1 SD pada tahun 2008 memperlihatkan angka yang mencengangkan, yaitu ada 1.423 atau 12,5% siswa yang mengulang dan hampir seluruhnya tidak menempuh PAUD. Ini jelas menunjukkan korelasi positif antara kemampuan anak kelas 1 SD dengan PAUD, yang berarti jika input anak SD yang berlatar belakang PAUD semakin banyak, maka angka mengulang kelas menjadi semakin rendah.
Penulis pernah mengadakan interview kepada beberapa orang tua yang enggan menyekolahkan anaknya ke PAUD, beberapa mengatakan tidak ada biaya, namum ada juga yang menganggap PAUD hanya bermain-main saja, dan itu itu tidak penting karena bermain bisa dilakukan di rumah. Jawaban pertama mungkin merupakan masalah klise yang sering kita dengar dan tidak perlu kita bahas disini, tetapi jawaban kedua menggugah penulis untuk mengkaji kembali makna ”bermain” yang diremehkan oleh beberapa orang tua.

Golden Age
Sebelum membahas manfaat bermain, kita lihat PAUD dari sisi yang lain. PAUD di Purworejo sampai hari ini masih dianggap sebelah mata oleh masyarakat, padahal dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa anak usia dini adalah masa ”golden age” periode perkembangan kognitif, bahasa dan sosial emosional mengalami titik puncaknya. Keterlambatan stimulasi pada usia ini mempunyai efek jangka panjang dalam kehidupan seorang manusia.
Pentingnya PAUD juga dikemukakan oleh Feldman (2002) bahwa masa balita merupakan masa emas yang tidak akan berulang karena merupakan masa paling penting dalam pembentukan dasar-dasar kepribadian, kemampuan berfikir, kecerdasan, keterampilan, dan kemampuan bersosialisasi. Kenyataan ini memperkuat keyakinan bahwa pendidikan dasar bagi anak seyogianya dimulai sedini mungkin.
Penelitian tentang otak menunjukkan sampai usia 4 tahun tingkat kapabilitas kecerdasan anak telah mencapai 50%, pada usia 8 tahun mencapai 80%, dan sisanya sekitar 20% diperoleh pada saat berusia 8 tahun ke atas. Artinya apabila pendidikan baru dilakukan pada usia 7 tahun atau sekolah dasar, stimulasi lingkungan terhadap fungsi otak yang telah berkembang 80 % tersebut terlambat dalam pengembangannya. Otak yang kurang difungsikan tidak hanya membuat anak kurang cerdas tetapi dapat mengurangi optimalisasi potensi otak yang seharusnya dimiliki oleh anak.

Fungsi Bermain
Kita mungkin tidak pernah membayangkan bahwa bermain dengan teman sebaya mempunyai fungsi yang dapat memperluas interaksi sosial dan mengembangkan ketrampilan sosial bagi anak kita, yaitu memberi pelajaran pada anak-anak bagaimana kita berbagi, hidup bersama, mengambil peran dalam kehidupan, dan belajar hidup dalam masyarakat secara umum. Selain itu, bermain akan meningkatkan perkembangan fisik, koordinasi tubuh, dan mengembangkan serta memperhalus ketrampilan motor kasar dan halus. Bermain juga akan membantu anak-anak memahami tubuhnya, fungsi dan bagaimana menggunakannya dalam belajar. Anak-anak bisa mengetahui bahwa bermain itu menyegarkan, menyenangkan dan memberikan kepuasan.
Bermain dapat membantu perkembangan kepribadian dan emosi karena anak-anak mencoba melakukan berbagai peran, mengungkapkan perasaan, menyatakan diri dalam suasana yang tidak mengancam, juga memperhatikan peran orang lain. Melalui bermain, anak-anak kita bisa belajar mematuhi aturan sekaligus menghargai hak orang lain. Bermain dengan bimbingan guru di lembaga PAUD jelas lebih berkualitas karena disanalah nilai-nilai positif bisa disisipkan yang tidak didapat ketika anak bermain dirumah atau di lingkungan masyarakat.
Selanjutnya Froebel dalam Brewer (2007:41) mengatakan bahwa permainan dalam PAUD merupakan pondasi bagi pembelajaran anak sehingga dapat menjembatani anak antara kehidupan di rumah dan kehidupan anak di sekolah nantinya.

Bermain dan Kemampuan Intelektual
Bermain ternyata dapat membangun kemampuan intelektual anak. Bermain mampu merangsang perkembangan kognitif, karena dengan bermain, sensor-motor (indera-pergerakan) anak-anak dapat mengenal permukaan lembut, kasar, atau kaku. Permainan fisik akan mengajarkan anak akan batas kemampuannya sendiri. Bermain juga akan meningkatkan kemampuan abstraksi (imajinasi dan fantasi) sehingga anak-anak semakin jelas mengenal konsep besar-kecil, atas-bawah, dan penuh-kosong. Melalui bermain, anak dapat menghargai aturan, keteraturan, dan logika.
Bermain juga akan membangun struktur kognitif anak. Anak-anak akan memperoleh informasi yang lebih banyak sehingga pengetahuan dan pemahamannya akan lebih kaya dan lebih dalam. Bila informasi baru tersebut ternyata berbeda dengan yang selama ini diketahuinya, anak dapat mengubah informasi yang lama sehingga ia mendapat pemahaman atau pengetahuan yang baru. Jadi akan memperkaya, memperdalam dan memperbaharui struktur kognitif anak sehingga semakin sempurna.
Bermain ternyata juga akan membangun kemampuan kognitif, kemampuan kognitif mencakup kemampuan mengidentifikasi, mengelompokkan, mengurutkan, mengamati, membedakan, meramalkan, menentukan hubungan sebab-akibat, membandingkan, dan menarik kesimpulan. Bermain akan mengasah kepekaan anak-anak akan keteraturan, urutan dan waktu. Bermain juga meningkatkan kemampuan logis (logika).
Disamping itu bermain juga akan menjadi media bagi anak untuk belajar memecahkan masalah. Pada saat bermain, anak-anak akan menemui berbagai masalah sehingga akan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengetahui bahwa ada beberapa kemungkinan untuk memecahkan masalah. Dengan bermain juga memungkinan anak-anak bertahan lebih lama menghadapi kesulitan sebelum persoalan yang ia hadapi dapat dipecahkan. Proses pemecahan masalah ini mencakup adanya imajinasi aktif anak-anak. Imajinasi aktif akan mencegah timbulnya kebosanan yang merupakan pencetus dari kerewelan yang sering kita jumpai pada anak-anak.
Bermain juga akan mengembangkan konsentrasi, kita bisa melihat apabila tidak ada konsentrasi yang memadai, seorang anak tidak mungkin dapat bertahan lama bermain peran (berpura-pura menjadi dokter, guru, ayah/ibu, dll). Ada hubungan yang dekat antara imajinasi dan kemampuan konsentrasi. Imajinasi membantu meningkatkan kemampuan konsentrasi. Anak-anak yang tidak imajinatif memiliki rentang perhatian (konsentrasi) yang pendek dan memiliki kemungkinan besar untuk berperilaku agresif dan mengacau.

Bermain merupakan Laboratorium Bahasa
Jika kita perhatikan, bermain juga dapat menjadi wahana melatih kemampuan berbahasa anak. Dapat dikatakan bahwa kegiatan bermain merupakan ”laboratorium bahasa” bagi anak-anak. Di dalam bermain, anak-anak bercakap-cakap satu dengan yang lain, berargumentasi, menjelaskan, dan meyakinkan. Keterbatasan pendidikan bahasa di dalam keluarga dapat ditambal dengan interaksi bersama teman sebayanya di sekolah PAUD. Jumlah kosakata yang dikuasai anak-anak dapat meningkat karena mereka dapat menemukan kata-kata baru dari teman bermain dan guru tentunya.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa PAUD ternyata mempunyai manfaat yang begitu besar, namun seolah terkuburkan karena kurangnya pemahaman dan penjelasan ke orang tua. Harapannya, dengan tulisan ini dapat memberikan pemahaman tentang PAUD, dan memberikan motivasi bagi penyelenggara PAUD tentang peran mereka bagi pembanguan pendidikan yang tidak boleh dianggap remeh, karena dari sinilah pondasi peningkatkan mutu pendidikan itu dibangun.

Selasa, 03 Maret 2009

Desentralisasi pendidikan di Purworejo



Oleh: Margono, S.Pd., M.Acc
Dinas P dan K Purworejo

Sejak terjadi krisis ekonomi, reformasi telah menjadi pilihan politik bangsa kita untuk melakukan reposisi dan sekaligus merekonstruksi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang selama ini belum berhasil mencapai cita-cita nasional yakni terwujudnya masyarakat beriman, bertakwa, adil, makmur, dan demokratis. Salah satu faktor yang menyebabkan bangsa kita gagal manjadi bangsa yang maju ialah Faktor manajemen pemerintahan yang bersifat sentralistik. Pemerintahan yang sentralistik ternyata tidak sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat kita sekarang yang menginginkan peran aktif dalam proses pembangunan nasional. Masyarakat atau daerah menghendaki agar mereka dapat terlibat secara langsung untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat atau daerah.
Paradigma pemerintahan sentralistik telah mengabaikan arti penting pluralitas bangsa Indonesia yakni keragaman budaya, adat istiadat, etnis serta potensi daerah yang sesungguhnya merupakan social capital yang sangat berharga dan diperlukan dalam pembangunan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, munculnya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 yang mengatur Pemerintahan Daerah, merupakan landasan yuridis formal dan sekaligus menjadi starting point untuk melaksanakan pemerintahan yang bercorak desentralistik. Paradigma pemerintahan desentralistik lebih menekankan pada pentingnya pemberian otonomi yang luas kepada daerah dalam rangka mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, daya saing serta peningkatan peran serta masyarakat. Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 ternyata berimbas pula dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yakni proses desentralisasi di bidang pendidikan yang bermuara pada pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang telah berlangsung hampir satu dasa warsa. Dalam kurun waktu tersebut, tentu saja telah terjadi banyak perubahan-perubahan yang menyangkut regulasi dan kebijakan pendidikan, manajemen, serta peningkatan kualitas pendidikan baik dalam skala nasional maupun lokal di daerah. Untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang dinamika pendidikan di era otonomi daerah khususnya di Kabupaten Purworejo berikut ini akan diuraikan deskripsi tentang; (1). Progres kinerja kabupaten Purworejo, (2). Pembiayaan pembangunan pendidikan kabupaten Purworejo, (3). Hambatan dan peluang desentralisasi pendidikan, (4). Pengalaman terbaik yang dipetik dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan kabupaten Purworejo.

Pembiayaan pendidikan
Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Pemerintah daerah kabupaten Purworejo melalui APBD mengalokasikan dana untuk penyelenggaraan pendidikan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Tahun 2005 anggaran pendidikan di kabupaten Purworejo mencapai angka Rp. 11.270.105.000,-( 6,5 % dari total APBD), Tahun 2006 anggaran pendidikan mencapai angka Rp. 13.881.647.800,-( 8.3 % dari total APBD), Tahun 2007 anggaran pendidikan mencapai angka Rp. 38.886.417.900,- ( 11,8.%dari total APBD), dan terakhir Tahun 2008 anggaran pendidikan di kabupaten Purworejo mencapai angka Rp. 54.71.841.000,-(18,4.% dari total APBD). Dana tersebut digunakan untuk membiayai bidang pendidian di Kabupaten Purworejo di luar gaji guru
Selain dana yang bersumber dari APBD, biaya pendidikan diperoleh dari masyarakat yang besarnya ditetapkan berdasarkan musyawarah. Siswa- siswa terutama yang berasal dari keluarga miskin dibebaskan dari kewajiban membiayai pendidikan, telah diupayakan minimal 10% dari jumlah siswa di setiap sekolah harus pro siswa dari keluarga miskin.

Peluang Pembangunan Pendidikan
Pendidikan di kabupaten Purworejo memiliki peluang untuk berkembang dan maju seperti halnya pendidikan di daerah-daerah lain. Beberapa potensi pendidikan yang dapat dikembangkan secara optimal dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan antara lain:
a. Purworejo memiliki sumber daya manusia yang cukup baik. Sebagian kepala sekolah (50%) kepala sekolah khususnya SMP dan SMA negeri di wilayah kabupaten Purworejo berkualifikasi atau telah berpendidikan strata dua (S2).
b. Semangat untuk bersaing secara sehat dalam memajukan mutu pendidikan mulai bermunculan di kalangan kepala sekolah dan tenaga kependidikan di kabupaten Purworejo. Melalui manajemen berbasis sekolah (MBS) berbagai inovasi dan kreativitas diciptakan agar mutu sekolah semakin baik.

Pengalaman terbaik
Beberapa pengalaman positif yang dapat dipetik dari pelaksanaan desentralisasi pendidikan khususnya di kabupaten Purworejo antara lain :
1. Fenomena bahwa sekolah-sekolah memperluas jaringan kerja (networking) yang bukan hanya terbatas dengan institusi pendidikan sendiri baik lokal maupun regional, tetapi juga dengan lembaga-lembaga lain, misalnya perguruan tinggi, UNICEF, USAID (MBE dan DBE).
2. Pelatihan atau training yang sebelumnya ditangani dan diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan atau lembaga diklat di daerah, sekarang dilaksanakan oleh sekolah baik dengan biaya sendiri maupun bantuan biaya dari pemerintah.
3. Pengelolaan keuangan sekolah dilakukan secara transparan dan akuntabel sehingga dapat dihindari adanya inefisiensi penggunaan anggaran sekolah.
4. Pelaksanaan evaluasi kinerja Kepala Sekolah empat tahunan, dampaknya sungguh sangat signifikan terhadap peningkatan kinerja KS, hal ini akan mendorong motivasi kerja sekaligus kinerja KS lebih meningkat, karena kinerjanya tidak baik akan terdegradasi.
5. Adanya rewards, misalnya bagi guru yang berprestasi akan diangkat menjadi kepala sekolah dan kepala sekolah yang berprestasi akan diangkat menjadi pengawas.
6. Adanya sekolah-sekolah yang berwawasan khusus dan memiliki keunggulan lokal yang ditetapkan oleh Dinas Kabupaten, di semua jenjang pendidikan, misalnya adanya sekolah yang berbasis olah raga, seni budaya dll.
7. Adanya pelatihan khusus yang diperuntuk bagi guru-guru yang baru saja diangkat menjadi CPNS, sehingga mereka segera bisa menyesuaikan diri terhadap tugas-tugas yang diembankan dan sekaligus dapat berkarir dengan lebih baik.
8. Adanya TC bagi siswa, guru, kepala sekolah, pengawas berprestasi baik yang bersifat akademis maupun non akademis, dalam rangka proses persiapan yang bersangkutan untuk maju ke tingkat yang lebih tinggi ( provinsi, nasional).
9. Adanya pengimbasan yang dilakukan oleh Pemkab terhadap program-program yang diyakini memiliki efektivitas yang tinggi dalam pengelolaan sekolah, seperti program-program dari DBE, MBE dan lembaga-lembaga lain yang kapabilitasnya sudah tidak diragukan lagi.