Kamis, 21 Januari 2010

Guru Oh...Guru



Oleh:
Margono, S.Pd., M.Acc

Guru, adalah profesi yang sekarang menjadi idola। Sertifikasi, tunjangan fungsional, adalah beberapa contoh kesejahteraan yang menggiurkan, tentu bagi yang sudah menjadi guru tetap/PNS. Tetapi bagaimana nasib sesama profesi guru yang sering disebut guru tidak tetap atau guru honorer, sangat bertolak belakang. Kesejahteraan yang minim, kurang perhatian, bahkan sering dianggap benalu oleh pemerintah. Sungguh ironis, padahal mereka mempunyai andil yang sama dalam mencerdaskan anak bangsa. Seperti ada jurang yang sangat lebar jika membandingkan kesejahteraan antara guru tetap (PNS) dengan guru tidak tetap, tetapi itulah kenyataan sebenarnya.

Baiklah, dalam tulisan ini, penulis tidak akan membahas guru dari sisi kesejahteraan dan legalitas profesi, tetapi dari sisi yang lain.
Sebenarnya siapa yang berhak menyandang predikat guru? Apakah orang yang mempunyai nomor induk pegawai (NIP), orang diangkat dengan SK Kepala Sekolah ataukah seorang kyai/dai, ustad/ustazah, atau siapa?
Seorang sejarawan yang juga mantan menteri pendidikan pada jaman Orba Prof. Fuad Hasan pernah mengatakan bahwa di dunia ini hanya ada dua profesi, yaitu guru dan bukan guru. Dari pernyataan itu, beliau ingin mengatakan bahwa siapapun bisa menjadi guru. Konsep guru dalam Budaya Jawa adalah sosok yang “digugu lan ditiru” secara jelas menjawab apa yang dimaksud guru oleh Prof Fuad Hasan. Guru adalah sosok teladan, baik dalam ucapan, tindakan dan tingkah laku, dan itu bisa dilakukan oleh siapa saja.
Seorang tukang becak yang selalu ramah, bertingkah laku sopan, sabar, mau berusaha dan tetap bersyukur, adalah sosok yang pantas disebut guru karena bisa menjadi teladan, dibandingkan orang yang diangkat dengan SK guru tetapi berlaku kasar, suka berjudi gaple/sabung ayam, berselingkuh/berbuat cabul, atau menggelapkan uang sekolah/siswa, sekalipun ia hapal tugas guru sesuai UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Beberapa waktu yang lalu kita pernah melihat di tayangan TV ada guru yang tertangkap basah bermain judi, berbuat cabul, atau berselingkuh, apakah mereka masih pantas disebut guru? Kalau kita kembali kepada makna guru yang “digugu lan ditiru” tentu jawabannya adalah tidak pantas. Memang tidak bisa “digebyah uyah” (digeneralisir) bahwa semua guru berbuat seperti itu, tetapi peribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga” bisa menggambarkan bahwa profesi guru saat ini sedang dalam kondisi “rusak”.
Rusak disini bisa diartikan menjadi sorotan masyarakat, karena dengan adanya sertifikasi yang berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan, guru tidak bisa lagi berbuat seenaknya, tidak ada tempat untuk berbuat salah dimata masyarakat. Sesuai undang-undang, guru dituntut meningkatkan kompetensinya sesuai PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28, guru/pendidik adalah agen pembelajaran yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
Makna “digugu” adalah teladan. Teladan dalam berfikir dan memahami sesuatu, merupakan pengejawantahan dari kemampuan guru dalam memahami ilmu pengetahuan yang dimiliki (kognitif). Kalau kita hubungkan dengan empat kompetesi guru, maka cenderung kepada kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Kompetensi pedagogik, secara substantif mencakup kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya, sedangkan kompetensi profesional merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum mata pelajaran.
Sedangkan “ditiru” juga mempunyai makna teladan, tetapi lebih kepada ranah afektif dan psikomotorik. Jika dihubungkan dengan empat kompetensi guru merupakan pengejawantahan dari kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia, sedangkan kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Jadi dengan semakin meningkatnya kesejahteraan, guru tidak hanya harus meningkatkan kompetensinya, tetapi juga harus bisa menjadi teladan sesuai makna “digugu lan ditiru”. Jangan sampai guru yang ber SK tidak bisa menjadi teladan, karena merekalah garda terdepan dalam mencerdaskan anak bangsa, walaupun mereka tetap dibantu dan didukung oleh “guru-guru” lain yang ada disekitar kita, karena pendidikan merupakan tanggungjawab bersama termasuk masyarakat.